Menengok Monumen Pengkhianatan

Oleh:

Meita Anissanti *)
Pradianto Rahman **)

Bentuk huruf "n" menganalogikan sebuah gerbang menuju masa depan yang cerah. Bentuk "n" juga dimetaforakan sebagai sebuah bingkai yang merangkul perbedaan latar belakang penghuninya dan orang-orang yang diwakilinya. Bhinneka Tunggal Ika. Air yang mengalir menuju kolam adalah perlambang dari manfaat yang diberikan oleh si penghuni kepada bangsa Indonesia.  
Bangunan ini memang dibangun dengan cita rasa yang tinggi. Secara arsitektural, bangunan ini menganut International Style. Ini dapat dilihat dari material utama yang digunakan, seperti kaca, beton, dan baja dengan kontruksi bangunan yang modular. Dalam sejarahnya, langgam ini adalah bagian dari peradaban arsitektur modern yang lahir pasca revolusi industri. Di masa ini, nyaris segalanya diproduksi secara massal demi efisiensi waktu dan biaya. Sementara itu arsitektur bergaya Klasik, Renaisans dan Barok mulai ditinggalkan.
International Style lahir dari sebuah kebutuhan akan banyak bangunan baru sebagai akibat dari kota-kota yang hancur karena Perang Dunia. Teknologi canggih pun banyak ditemukan, mulai dari penemuan elevator sampai kepada konstruksi baja dan beton yang kokoh. Bentuk-bentuk modular dan kubus merupakan bentuk yang seringkali dipilih untuk digunakan karena dianggap paling efisien. Alasan ekonomi inilah yang membuat langgam ini menyebar ke banyak negara lain. Di masa ini pula lahir tokoh-tokoh Arsitek modern seperti Louis Sullivan dengan moto form follow function-nya dan Ludwig Mies van der Rohe yang mendeklarasikan less is more. Salah satu karakteristik yang paling menonjol adalah matinya ornamen-ornamen bangunan dan hanya kecanggihan teknologilah yang mendominasi. Bagaimana pun, Eropa adalah pengecualian. Negara-negara di benua ini lebih memilih untuk mempertahankan unsur historis kotanya.
Gaya yang dipilih bisa jadi sebenarnya meneruskan niat Bung Karno ketika pertama kali merencanakan sebuah gedung CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) di Jakarta - sekarang adalah Gedung Nusantara - untuk pertama kalinya. Bung Karno menyebutkan salah satu kriteria gedung yang dibangun harus menampilkan kegagahan dan kemegahan bangunan agar karya rancang bangun teknisi Indonesia bisa diakui. Kegagahan dan kemegahan bangunan inilah yang diharapkan untuk dapat mengangkat harkat, derajat dan martabat bangsa.
Motivasi penbangunan Gedung DPR kali ini juga agaknya tidak jauh berbeda dengan yang pertama. Kemegahan diharapkan dapat mengangkat citra para anggota dewan. Dalam sebuah teori sosial dikatakan bahwa bangsa yang masih menyimbolkan keberhasilannya dengan benda, barang atau simbol-simbol fisik lainnya dapat digolongkan ke dalam bangsa yang primitif. Jadi semoga saja bukan alasan yang inilah yang melandasi pembangunannya. Apalagi jika keberhasilan yang dimaksud adalah keberhasilan semu.
Mari kita tengok ke aspek yang lebih teknis. Masterplan kawasan gedung DPR yang telah disusun selama 3 tahun terakhir ini dirancang dengan menggunakan kaidah penzoningan publik, semi-publik, dan privat. Artinya, kawasan dibagi berdasarkan tingkat aksesibilitasnya. Semakin ke selatan atau semakin menjauhi pintu masuk, permeabilitasnya semakin kecil atau semakin susah diakses oleh umum. Tidak ada yang salah dengan konsep pembagian daerah ini selama para wakil rakyat ini juga mengoptimalkan wilayah publik yang dimaksudkan untuk berinteraksi dengan rakyat yang diwakilinya.
Aspek lain adalah biaya. Konon kabarnya, rencana pembangunan Gedung DPR itu memakan biaya sampai Rp 1,168 triliun, yang menurut salah seorang aktivis ICW nilai itu setara dengan 12 ribu gedung sekolah. Analisis biaya tentu perlu dilakukan untuk besaran angka tersebut. Yang pasti, luas kantor sebesar 120 meter persegi untuk setiap anggoota dewan (terdiri atas ruang untuk staf ahli dan asisten sebesar 60 meter persegi dan sisanya untuk ruang kerja pribadi wakil rakyat lengkap dengan ruang istirahatnya) jelas memberikan kontribusi besar terhadap tingginya biaya.
Memang benar bahwa ruangan kerja yang terdesain baik, dengan kualitas suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya yang tepat secara psikologis dapat menaikkan performa bekerja sampai dengan 60 persen. Setidaknya bisa mengembalikan waktu kerja yang hilang akibat tingginya absensi anggota dewan dalam sidang. Tapi apa perlunya fasilitas mewah seperti kolam renang, fitness centre, danspa berada disana.
Sebuah argumen tentang pembangunan kolam renang di lantai 36 gedung baru tersebut menyebutkan, bahwa itu bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran dan jika menunggu pemadam kebakaran waktunya tidak akan cukup. Bukannya tidak mungkin, namun untuk sebuah sistem proteksi kebakaran gedung tinggi, efektivitas kolam renang di lantai paling atas ini benar-benar harus dipertanyakan kembali. Jika mengikuti prosedur yang ada, keselamatan penggunaan bangunan seharusnya bisa terjamin dengan integrasi sistem dalam bangunan. Untuk gedung bertingkat tinggi, evakuasi dilakukan melalui tangga-tangga darurat yang bebas hambatan dengan ruang penampung yang dindingnya dibangun dengan material beton. Ini merupakan sistem proteksi kebakaran yang pasif, yaitu mampu menahan perembetan api ke dalam ruangan selama kurang lebih dua jam. Tangga darurat sebisa mungkin juga memiliki akses langsung ke luar bangunan dengan jarak maksimal 30 meter.  Sementara itu, sprinkler-sprinkler pada plafon sudah menyala sejak adanya deteksi asap dan api sambil menunggu pemadam kebakaran datang. Mengenai gambaran distribusi air yang juga belum dijelaskan secara teknis dan rinci, membuat kolam renang yang diusulkan terkesan semakin tidak mendesak. Manfaat kolam renang yang pasti di puncak bangunan adalah untuk berenang-renang dan bersenang-senang ala Marina Bay Sands Hotel, Singapore.
Arsitektur seharusnya lahir dari kebutuhan. Sedangkan sasana wakil rakyat ini, seharusnya pun menjadi tempat bekerja bagi anggota dewan dalam mengemban tugas utamanya, yaitu mewakili dan mempejuangkan aspirasi rakyatnya. Bangunan yang nantinya berdiri ini akan menjadi saksi bisu pengingkaran para wakil rakyat terhadap amanah yang diembannya. Tak berlebihan apabila Mochtar Pabottingi - seorang pengamat politik senior, mengibaratkan gedung baru DPR ini sebagai Monumen Pengkhianatan.


*) Mahasiswi Semester 7 Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Bandung
**) Pengamat, tinggal di Bekasi

Lebaran tahun 2010

Seperti tahun tahun sebelumnya lebaran tahun ini acaranya adalah tunggal yaitu : Pulang kampung.
Seminggu sebelum Lebaran, dirumah sudah lengkap anggota keluarga. Anakku ragil yang masih kuliah dibandung sudah libur dan pulang kerumah. Anakku yang mbarep dan sudah menikah sounding kalau mau joint denganku pulang kampung di Pekalongan.
Jumlah total yang diangkut menjadi 6 orang padahal tahun tahun sebelumnya 5 orang, yaitu Saya, istri dan anak 3 orang. Sejak anak anak masih kecil dan masih jadi penumpang sampai merekalah yang mengemudi jumlahnya selalu konstan yaitu 5 orang. Tapi karena beberapa bulan sebelumnya saya punya anak mantu, jumlahnya menjadi 6 orang
Maka mobil yang berkapasitas 7 orang menjadi tidak cukup, karena  biasanya 2 seat bagian paling belakang dipenhi dengan barang bawaan.
Kalau anak mbarep sama istrinya harus bawa mobil sendiri, kok rasanya nggak ekonomis dan nggak guyub. maka diputuskan untuk membeli tempat barang di atas mobil ( HandiRack ). Jadi dua seat yang tahun sebelumnya menjadi tempat barang, naik pangkat dan dimanfaatkan.
Mobil disiapkan dengan baik karena perjalanan jauh memang perlu kesiapan mesin. olie diganti, peralatan dicek termasuk membawa tambang. barang kali membutuhkan derek menderek.  
Perbekalan juga disiapkan, dari minuman kaleng kalengan sampai chiki chikian.Karena anak pertama dan kedua sudah berpenghasilan, biayapun menjadi ringan masing masig shared terhadap anggaran.
Hari keberangkatan ditetapkan H plus 1 Yaitu jatuh pada hari sabtu tanggal 11 September 2010. Jam 5.00 pagi setelah subuhan. Jadi hari raya kami merayakan dirumah.
Pertimbangan kenapa H plus 1 ???
1.  Bisa menikmati Lontong opor bikinan sendiri. ( bayangkan kalau menu spesial ini ditempat mertamu?)
2.  Hari pertama tidak ada yang dikejar di Pekalongan karena orang tua saya dan orang tua istri yang berasal dari Pekalongan sudah tidak ada semua.
3.  Memberi kesempatan anak dan mantu untuk sungkem di haripertama lebaran ke orang tuanya, yang tinggal di Jakarta.
4.  Jalan darat pasti tidak macet lagi (ini yang paling penting).

Hari keberangkatan tiba, molor satu jam seperti telah diduga sebelumnya. Bertindak sebagai driver adalah anak laki2 pertama dan kedua.
Perjalan sangat lancar, kami berangkat melalui jalur utara yaitu melalui cikampek terus ke pantura. pertimbangannya adalah karena tahun sebelumnya kami melewati jalur selatan, yaitu melewat tol cipularang trus ke sumedang trus ke Cirebon.
Sarapan dan makan siang kami membawa bekal sendiri, karena disamping bersih dan enak, tidak mudah mencari restoran yang layak disepanjang jalan setelah hari raya plus satu.
Menjelang sore hari kami sampai di Pekalongan dengan hati senang dan lega.
Kuhirup udara tanah kelahiran dalam dalam.
Aku bersukur tahun ini aku masih bisa mengunjungi tanah kelahiranku.
Di Pekalongan tanggal 13 September 2010 seorang adik temenku memberiku hadiah sebuah buku karangannya yang susah didapat yaitu : Kamus Bahasa Pekalongan.

Mau pinjam ???? nanti dulu.